Menguak Hubungan Mahfud, FPI dan NU
Menko Polhukam, Mahfud MD tegaskan izin FPI belum bisa diperpanjang (Foto: Gelora) |
Saat ini, kita mungkin banyak berdebat terkait apakah Front Pembela Islam (FPI) adalah organisasi masyarakat (ormas) yang pantas diperpanjang izinnya atau tidak. Tidak hanya menjadi perdebatan awam, para elite politik negeri ini juga nampaknya disibukkan dengan perdebatan tersebut.
Bagaimana tidak, topik tersebut bahkan sampai diangkat ke dalam acara diskusi kenamaan milik TvOne, Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 3 Desember 2019.
Dalam acara yang juga turut menghadirkan perwakilan dari FPI tersebut, sorotan utama mungkin mengarah kepada pengamat politik Rocky Gerung karena pernyataannya yang menyebut Presiden Jokowi tidak memahami Pancasila.
Akan tetapi, di luar sorotan utama tersebut, publik seharusnya juga menyorot pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD terkait keterangannya dalam menjawab mengapa izin FPI belum juga diperpanjang oleh pemerintah.
Mahfud menyebutkan bahwa FPI belum memenuhi syarat yang diajukan oleh pemerintah yang berkuasa karena susunan AD/ART organisasinya masih memasukkan khilafah.
Secara keseluruan, sebenarnya tidak terdapat hal istimewa yang disampaikan Mahfud. Namun, pernyataan penutup yang diberikannya benar-benar membuat konteks keterangannya menjadi sangat menarik.
“Pemerintah yang sah berdasarkan hasil Pemilu itu kan berwenang membuat aturan bersama DPR-nya, kalau Anda tidak setuju ya menangkan dong di dalam pemilu, buat peraturan yang lain, kan begitu artinya”, demikian kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu.
Pernyataan tersebut menjadi menarik karena secara tidak langsung Mahfud telah menyampaikan suatu paradigma hukum yang menegaskan “hukum adalah alat dari penguasa” atau “hukum sebagai alat politik”. Artinya, alih-alih sebagai pengarah dan pengendali bagi penguasa, hukum justru harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan dari penguasa itu sendiri.
Hukum yang sebagai alat politik adalah apa yang ditulis oleh Mahfud sendiri dalam bukunya Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, bahwa hal tersebut adalah salah satu asumsi dalam relasi hukum dengan politik yang disebut dengan “politik determinan atas hukum”.
Merujuk pada pernyatannya, Mahfud sepertinya telah mengamini asumsi tersebut sebagai suatu posisi yang dipilihnya. Tidak hanya Mahfud, filsuf hukum asal Austria, Hans Kelsen pun memberi afirmasi bahwa suatu pernyataan atau aturan dapat memiliki “wewenang hukum” karena diproduksi atau dibuat oleh otoritas atau pemerintah yang berkuasa.
Menariknya, jika kita melihat pernyataan-pernyataan Mahfud sebelum menjadi Menko Polhukam atau sebelum berada di lingkaran Istana, terlihat bahwa ia justru lebih condong pada asumsi “hukum determinan atas politik” atau hukum seharusnya yang menjadi arah dan pengendali politik.
Misalnya saja dalam pernyataannya pada September 2013, di mana pada saat itu Mahfud menyebut “moral dan etika sudah tercerabut dari hukum”. Kemudian dalam pernyataannya pada Agustus 2017, yang menyebut “mafia uang maupun politisasi masih sangat mengganggu penegakan hukum di Indonesia”.
Pun begitu dalam keterangan panjangnya pada November 2017 yang menyebut dua dari tiga masalah hukum di Indonesia terjadi karena adanya suap dan permainan politik dalam pembuatan produk hukum.
Membandingkan pernyataan Mahfud dalam ILC dengan tiga pernyataan sebelumnya mungkin membuat kita menyimpulkan bahwa Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara tersebut telah mengalami perubahan sikap dalam asumsi relasi dengan hukum yang dianutnya. Lantas apa yang dapat dimaknai dari fenomena tersebut?
Intelektual dan Penguasa
Tidak hanya terjadi pada Mahfud, nyatanya, fenomena di mana intelektual yang mendukung penguasa telah menjadi tren yang banyak terjadi di berbagai tempat.
Salah satu skandal terbesar intelektual hebat yang mendukung penguasa mungkin adalah kasus salah satu filsuf terbesar Jerman, Martin Heidegger. Bagaimana tidak, Heidegger yang terkenal karena karya-karya yang sulit untuk dipahami seperti Being and Time ini, diketahui memberikan dukungan kontroversial kepada Adolf Hitler kala itu.
Sepuluh hari setelah Heidegger diangkat sebagai Rektor di University of Freiburg, Jerman atau tepatnya pada 1 Mei 1933, ia bergabung dengan Partai Nazi (NSDAP). Kemudian pada musim gugur di tahun tersebut, Heidegger kerap melakukan tur untuk menyampaikan pidato yang berisi: “Jangan biarkan ajaran dan gagasan menjadi panduan Anda. Führer adalah satu-satunya realitas dan hukum Jerman”.
Atas dukungan Heidegger tersebut, banyak kalangan menilai hal tersebut dilakukan untuk mengamankan posisinya sebagai rektor. Namun, setahun kemudian, Heidegger sepertinya menyesali putusannya dalam mendukung politik Hitler yang terlihat dari pengunduran dirinya sebagai rektor dan berhenti mengikui pertemuan dengan Partai Nazi.
Terkait hal tersebut, Murad Nasibov dari Justus Liebig University of Giessen, Jerman menyebutkan bahwa saat ini fenomana intelektual yang terlibat dalam politik adalah suatu hal yang lumrah. Dalam hal ini intelektual dapat berperan untuk mempengaruhi ataupun membimbing diskusi politik publik dengan secara eksplisit menyatakan dukungan mereka kepada kelompok politik ataupun dengan menjelaskan pandangan mereka tentang isu-isu tertentu.
Akan tetapi, menurutnya partisipasi intelektual dalam politik tidak selalu mengarah pada hasil positif. Nasibov yang mengutip buku ilmuwan politik Amerika Serikat (AS), Mark Lilla yang berjudul Reckless Mind: Intellectuals in Politics menunjukkan bahwa berbagai pemikir besar abad ke-20 seperti Heidegger, Carl Schmidt, Walter Benjamin, Alexandre Kojève, Michel Foucault, dan Jacques Derrida justru terlibat dalam praktik yang mendukung tirani kelompok “kiri” dan “kanan” di Eropa.
Mahfud dan Politik NU
Di luar persoalan intelektual yang justru dapat mendukung politik tirani, fenomena yang menimpa Mahfud terkait mengapa dirinya mengubah sikap atau pandangan hukumnya, besar kemungkinan juga berkaitan erat dengan identitasnya sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), sekalipun ada di kubu yang berbeda dibandingkan dengan pimpinan ormas tersebut saat ini.
Bagaimana tidak, persoalan AD/ART FPI yang masih mengusung khilafah tentu bertentangan dengan posisi NU yang telah lama menolak gagasan dan sistem khilafah di Indonesia.
Apalagi, FPI kerap menunjukkan gerakan yang identik dengan kekerasan seperti melakukan sweeping warung makan pada Bulan Puasa ataupun melakukan sweeping atribut Natal menjelang perayaan Hari Natal.
Kedual hal tersebut, yakni khilafah dan gerakan yang mengarah pada kekerasan adalah apa yang telah lama diwanti-wanti oleh para ulama NU untuk tidak dilakukan. Misalnya saja pada 2007, Mustasyar PBNU, KH Muchith Muzadi menyebut NU memiliki khittah (landasan) sendiri untuk menolak khilafah. Lanjutnya, NU tidak ingin memaksakan syariat Islam dalam sebuah negara, apalagi dengan cara kekerasan.
Greg Fealy dalam Nahdlatul Ulama and the Politics Trap, menyebutkan bahwa Presiden Jokowi telah menjalin hubungan yang baik dengan NU, khususnya setelah peristiwa demo besar-besaran terhadap Basuki Thahaja Purnama atau Ahok yang membuat kelompok Islam seperti FPI menjadi oposisi terhadap pemerintah.
Hal ini kemudian terlihat semakin jelas setelah pemerintah membuat kebijakan yang merepresentasikan suara NU, seperti pembubaran Hitbuz Tahrir Indonesia (HTI) pada 2017 lalu, ataupun perang pemerintah atas radikalisme yang disebut menjunjung sistem khilafah saat ini.
Hubungan NU dan Presiden Jokowi kemudian diketahui menjadi simbiosis yang saling menguntungkan. Puncaknya tentu saja ketika terpilihnya ulama senior NU, Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Keputusan yang mungkin sangat tidak disangka-sangka oleh banyak pihak pada waktu itu. Apalagi, Ma’ruf adalah sosok yang turut memberi fatwa terkait dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok.
Saat ini mungkin dapat disimpulkan bahwa NU telah menjadi bagian dari pemerintah yang berkuasa. Artinya, jawaban Mahfud terkait izin FPI tidak hanya dapat dimaknai sebagai representasi dari pemerintah yang berkuasa, melainkan juga representasi dari pandangan politik NU itu sendiri.
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami bahwa perubahan pandangan yang ditunjukkan Mahfud tidak hanya didasarkan atas posisinya yang telah menjadi bagian dari kekuasaan, melainkan juga didasari atas pandangan politik NU yang telah lama menolak sistem khilafah. Di luar persoalan perubahan pandangan hukum Mahfud tersebut, menarik untuk menantikan akhir dari drama terkait tarik ulur izin FPI dari pemerintah ini. (R53)
0 Komentar