Relevansi Hakikat Kultural Politik dengan Netralitas Politik Birokrasi
Isu mengenai netralitas birokrasi dalam penyelenggaraan
Pemilu maupun Pilkada adalah bagian dari kontestasi politik yang tidak dapat
diindahlan. Hal demiikian didukung oleh berragam pesrpektif yang memiliki
kesimpulan yang sama bahwa studi birokrasi kontemporer memiliki kesimpulan yang
sama, dimana birokrasi tidak netral dalam Pemilu. Akar musabab pastinya sangat
berragam juga. Seprtinya apa yang menjadi tolak ukur KASN 2021 dalam menelaah
netralitas birokrasi menemukan bahwa ikatan kekeluargaan, peran kepala daerah
sebagai PPK serta perefernsi jabatan karis birokrasi menjadi kendala terbesar
dalam penegakan netralitas birokrasi. Semangat reformasi birokrasi yang
mengedepankan aspek netralitas pelayanan, netralitas kebijakan politik dan
netralitas poltik birokrasi hingga pada penjelmaan birokrasi berakhlak
sejatinya belum menemukan titik terang dalam implementasinya.
Kita mungkijn terbiasa dengan bacaan yang mengkultusakan
Indoensia terhadap jejak tertentu, tanpa mempertimbangkan Indoensia merupakaan
bacaan atas eksistensi problematika dan tuntutan masyarkat adat yang membedakan
kata Indoensia dengan konsekuensi objekif negara lain. Artinya objektifitas
atas ke-Indonesia-an merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari argumentasi
lokalitas. Tanpa Gorontalo Indonesia tidak akan disebut sebagai Indoensia,
namun demikian tanpa Indoensia Gorontalo ada entitas yang akan selalu
menonjolkan diri dan identitas atas ke-Gorontaloan-nya. Dalam konteks ini,
Gorontalo merupakan bagian dari entitas yang layak diperhitungkan dalam
paraktek penyelenggaraan negara bangsa
Dalam konteks ini, harus disadarai urgenatitas atas
lokalitas ke-Indoensia-an bahwa praktek penyeenggaraan pemerintahan dengan
berasumsikan pada praktek rasional Weberian merupakan bagian kekeliruan atas
penjelmaan praktek birokrasi bagi negara berkembang sepertti Indonesia. Banyak
pakar yang mengkritisi Weber, namun dalam kajian otentiknya tidak dapat
dipisahkan dari argumentasi yang dibangun oleh Weberian. Begitupun sebalinya,
banyak pemikir yang mengkritisi Riigs, akan tetapi dalam argumentasinya tidak
terlepas dari model salah birokrasi sala Riigs dalan setiap temuan,. Praktek
spertinya mudah dibaca dalam penyelenggaraaan birokrasi khususnya ngera
berkembang.
Kekehwatrian Betham dan Miftah atas praktek birokrasi di
Indoesnia terbukti dalam tataran kontekstual. Dengan mengedepankan apsek
teknis, kita kemudian lupa akan subtansi dari independensi dan perilaku
birokrasi ketika diperhadapkan dengan Pemilu. Buktinya, netralitas birokrasi
sangat dipengaruhi oleh persoalan independensi dan perilaku birokrasi dalam
Pemilu. Temuan Hendra Noer tidak berbeda dengan temuan yang lainnya, Firnas, (2016); Martini (2015); Mudiharta (2018); Wahyudi
(2018), Pananrang, Nippi (2021) menyimpulkan bahwa perilaku ketidaknetralan
birokrasi di Indonesia sudah terjadi sejak pra kemerdekaan hingga dekade sekarang ini. hingga
temuan Edwart Aspinal (2019) pada tahun 2019. Apa yang diasumsiukan oleh
beberapa temuan tersebut tanpa mengilhami hakikat kultural politik masyarakat atau birokrasi lokal yang dapat
dijadikan sebagai pengangan untuk menselaraskan independensasi birokrasi dalam
setiap perhelatan politik di daerah.
Negara dan generasinya sering lupa akan esksitensi kultural politik
dalam penjelmaan kontestasi politik serta apa yang dicita-citakan oleh negara,
yang mana birokrasi wajib netral dalam Pemilu. Kita lupa akan konsistensi nilai
manusia sebagai mahkuk politik. Artinya ASN dihargai hak politiknya untuk
memilih, namun dibatasi partisipasi politik mereka. Simalakama bagi posisi ASN
sebagai birokrasi, disisilan hirarki seperti apa yang di asumsikan oleh Weber
sebagai rasionalitasnya tidak terbukti bagi negara berkembang. Selama ASN tidak
dicabut hak politiknya untuk memilih, mereka selalu terjebak dalam narasi
politik praktis. Dalam prakreknya, ASN selalu dimanfaatkan untuk kemenangan
calon atau partainya kepala daerah.
Dalam melegitimasi hal tersebut, kemenangan partai politik disetiap level pemilihan kabuptan kota dan provinsi tidak terlepas dari keberadaan kepala daerah sebagai petahana. Kondisi demikian bukan hanya terjadi di provinsi Gorontalo namun menjadi bagian dari integrasi politik nasional kontenporer. Celakanya lagi buta kita sebagai negara bangsa adalah menempatkan sesuai yang bukan para koridornya. Banyak yang merasa pandai, dari kepandaiannya mereka merasa merasuki semua isu atau masalah menyangkut dengan eksistensi negara terutama mengenai netralitas birokrkasi
Alternatif Netralotas Birokrasi Dalam Perspektif Hulondalo
Dengan
tidak memungkiri apa yang dikemukakan oleh Riigs tentang birokrasi dinegara
berkembang dengan tipe salah, kesimpulan sederhana yang dapat dikemukakan
adalah parktek penyelenggaraan birokrasi dinegara berkebang seperti Indonesia
tidak terlepas dari konteks prismatic ala Riggs (1996) Dengan demikian,
lingkungan kontekstual sangat erat kaitanya dengan praktek penyelenggaraan
birokrasi. Bagi Indoensia, persoalan ini tidak dapat disampingkan, dimana praktek
birokrasi di daerah tertentu akan sangat berbeda dengan daerah lain. Atas hal
tersebut, praktek kepemimpinan birokrasi transformasional sangat penting
dilakukan untuk menjaga netralitas politik birokrasi dalam setiap perhelatan
Pemilu.
Dalam
kasus Amerika Gyung, Jeong (2016)
Serikat Porter, Rogowski (2018) menemukan bahwa masih terdapat pemilih dalam
hal ini ASN terfragmentasi lewat basis tradisional antara Partai Republik dan
Demokrat. Pemilih ASN memiliki prefernsi politiknya atas kedekatan secara
tradisional. Dalam bacaan tentnag
keberadaan birokrasi dalam Pemllu, Sukri
Tamma (2016) mengungkapkan bahwa pemilu
telah menjadi ajang bagi para birokrat lokal dan calon untuk saling
menguntungkan dalam mencapai kepentingannya masing-masing. Olehnya itu,
birokrasi profesional dan rasional Weberian tidak tercermin dalam praktek
birokrasi Indonesia. Terdapat netralitas
yang parsial yang dibentuk atas dasar patronase antara kepala daerah dengan
para politisi serta birokrat di daerah yang membuat birokrasi sulit untuk
netral dalam Pemilu. Temuan tersebut tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan
oleh Zuhro. (2021) bahwa birokrasi Indonesia masih rentan terhadap intruksi
politik kekuasaan untuk melanggengkan status quo dalam Pemilu maupun Pilkada.
Menonjolnya keterlibatan birokrasi seiring dengan keikutsertaan petahana dalam
pemilihan umum nasional dan daerah. ASN mengalami disorientasi dan budaya
birokrasi yang masih mempertahankan nilai lama membuat birokrasi tidak efektif
dalam mempertahankan profesionalisme dan kenetralan dalam Pemilu
Temuan
dan argumentasi tersebut menunjuan kepada kita semua bahwa konteks netralitas
birokarasi agak sukar untuk dipenuhi, hal ini juga berlaku bagi negara adidaya
sebagai pelorpor demokrasi dunia yani Amerika. Apa yang diasumsikan oleh Riggs ((1996) menjadi fakta bagi kita dalam memperdebatkan
netralitas birokrasi. Jika dirunut lebih diteal, kelaman yang dimiliki dalam
praktek penyeenggaraan birokrasi merupakan peluang bagi penguatan netralitas
birokrasi di daerah lebih khususnya adalah Gorontalo. Dungga, (1971) telah
merekonstruksi unsur falsafah hidup
masyarakat Gorontalo dalam praktek penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah. Artinya,
bagi masyarakat adat Gorontalo seperti catatan Kaluku (1965:) sebelum masuknya
Islam masyarakat Gorontalo sudah memperdebatkan konsep one man one vote pada masa raja Ilahude 1385-1427. Dimana konreks
musyawarah mufakat adalah bagian terpenting dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan. Apa yang dikemukakan oleh Haga (1981) nerupakan bagian dari
representrasi kekuasaan masyarakat adat Goronralo. Dimana raja tidak mejmiliki
kekuasaan absolut, Bate sebagai representasi rakyta dapat memecat raja
dalan segala kondisi.
Berankat
dari konsekuensi atas nilai tersebut, tentunya kita akan diperhadapkan dengan
suatu konsekuesni bahwa apakah nilai bagi masayarakat adat Gorontalo tidak
dapat dijadikan sebagai formulasi kebijakan untuk menetapkan landasan
netralitas politik birokarsi dalam setiap perhelatan politik lokal Gorontalo
kontemporer? Pada level ini, Taki Node layak untuk menjadi sumber inspirasi
bagi prakrek penyelenggaraan pemerintahan dalam menjungjung netralitas
birokrasi. Catatan
Verrianto Madjowa (2015:5-6) menunjukan bahwa setelah dilantik pada tanggal 5
Agustus 1963 praktek penyelenggaraan pemerintah berlandaskan pada falsafah
masyarakat adat Gorontalo yang bersumber dari ASQ. Kenetralan sebagai abdi
negara ditunjukan lewat penolakan terhadap SK Menteri Dalam Negeri Agar kepala
daerah wajib berkampanye untuk Golkar dan harus memenangkan Golkar disemua
tempat minimal 51%.
Sikap loyalitas kepada negara
dibuktikan dengan ketegasan untuk menolak berkampanye untuk Golkar, tentunya
hal ini beririsan dan sesuai dengan perilaku salbia sebagai konsep budi adat
Gorontalo. Atas kejujuran dan keadilan bagi ta’uwa berakibat pada target
perolahan suara partai Golkar di Gorontalo Pada Pemilu 1971. Atas kesetiaannya
kepada negara, Taki Niode memilih untuk mengundurkan dari Walikotapraja
Gorontalo. Berdasarkan pada temuan penelitian dan catatan atas Taki Niode dapat
memberikan penguatan bahwa perilaku salbia dapat dijadikan alternatif dalam
mendorong perilaku rasional politik birokrasi. Pada konteks ini, perlu adanya
transformasi lingkungan kontekstual dalam praktek birokrasi di daerah. Dengan
penguatan tersebut dianggap mampu untuk mendorong sikap netralitas politik birokrasi dalam Pemilu.
Perkara bagi kita sangat sederhana, dimana arena kontekstual lokal dapat dijadikan sebagai referensi untuk penguatan netralitas birokrasi dalam arena kontesasi demokrasi lokal. Bacaan terhadap hal tersebut, apa yang menjadi intisari dari perspektif Hendra Noor adalah bagian dari kondisi kontekstual praktek birokrasi di Indoneia. Bacaan yang gamblang ini diharpkan dapat memberikan sumbangsi pemikiran bagi ketia semua bahwa subtansi ketidaknetralan birokrasi dapat dipetakan pada narasi kontekstaul berdasarkan narasi lokalitas. Prakrek Taki Niode dapat dijadikan sebagai insprorasi bahwa agenda ketercapaian netralitas birokrasi bukan hanya di ukur melalui narasi regulasi menurut hukum postif negara, namaun kearifaan lokal atas Gorontalo dapat merekonstruksi agenda netralitas birokrasi sesuai dengah samngat reformasi birokrasi. Melalui tulisan yang sederhana ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam diskusi Ketdaknetralan Birokrasi Indoensia Karya Hamka Hendra Noor.
Alternatif Netralitas Birokrasi
(Bacaan Hakikat Kultural Politik Gorontalo Atas Taki Nidoe Dalam Bayangan Hendra Noor)
Oleh : Dr. Ramli Mahmud, S.Pd.,M.A
0 Komentar